Perasaan sedih menyembul setiap melihat lapangan bola tiba-tiba dipagari seng..tanda akan segera di dirikan bangunan..
Sepertinya sebentar lagi Jogja tidak lagi ramah kepada anak-anak desa yang tiap sore bermain bola di lapangan desa yang becek setiap kali hujan tiba..Terbayang dahulu tahun 90 an ketika saya pertama kali mengenal sepakbola dari teman-teman di desa. Kami latihan setiap kamis sore di sebuah lapangan bola bernama Tegalyoso yang ada di daerah Sleman selatan. Begitu riangnya ketika itu tanpa menghiraukan kotoran kerbau yang "diangon" siangnya. Seringkali sepatu bola murah yang kami beli di pasar senthir belepotan kotoran kerbau selesai latihan bola. Nama klub kami waktu itu Putrabuana FC dengan seragam lusuh berwarna biru langit. Posisi saya waktu itu adalah bek kiri hanya karena saya sangat mengidolakan legenda Italia dan AC Milan Paolo Maldini yang berposisi sama. Walaupun hanya bisa memaksimalkan kaki kanan, namun demi idola, saya sangat bersemangat memerankan posisi bek kiri sesuai posisi asli Paolo Maldini. Seiring dengan usia bertambah dan masing-masing dari anggota Putrabuana harus mencari jalan hidup masing-masing, kami pun bubar setelah sempat mencicipi kompetisi divisi 3 Persiba Bantul waktu itu. Saat SMA di SMA 6 Yogyakarta dan kuliah di D3 Broadcasting UGM, skill bola seadanya itu saya bawa ke lapangan yang lebih mewah yakni Stadion Madya Universitas Gadjah Mada di kawasan lembah UGM. Waktu itu saya membawa jurusan D3 Komunikasi juara kompetisi sepakbola antar Jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM.
Selepas kuliah saya pun merantau ke Jakarta. Sepakbola tetap saya bawa sebagai hobi saya ketika suasana hati dan pikiran sudah lelah dengan kehidupan di Jakarta. Seiring dengan ikutnya saya di tim Sepakbola Trans TV waktu itu, saya pun bersama tim sepakbola Trans TV mencicipi lapangan yang lebih mentereng lagi dibanding di UGM. Dari mulai lapangan bola bintaro yang biasa dipakai ekspatriat, lawan saya pun bertambah mentereng....Yeyen Tumena, bek tim nasional Indonesia waktu itu hingga Kurniawan Dwi Yulianto, striker legenda timnas. Selain itu rekan-rekan lain dari mulai Duta dan Adam Sheila On 7, Piyu Padi, sigit budiarto pebulutangkis nasional pun ikut menjadi "lawan" saya...Selain Bintaro, lapangan tempat latihan tim nasional Indonesia, stadion lebak bulus, stadion sumantri brojonegoro Kuningan, hingga Stadion Utama Gelora Bung Karno pun bisa saya rasakan. Walau sempat berbuah kartu merah karena terlibat keributan sewaktu liga media antara Trans TV melawan tabloid Sinar Harapan (beritanya sempat masuk tabloid olahraga terkemuka "Bola") namun saya sangat senang. Dari lapangan kecil Tegalyoso di ujung desa hingga Stadion Utama Gelora Bung Karno pernah saya cicipi.
Kini saya telah kembali dari petualangan panjang saya di Jakarta dan kembali ke tanah kelahiran yang saya cintai, Jogja. Namun alangkah sedihnya saya ketika melihat lapangan-lapangan sepakbola di desa kini menjadi lokasi perumahan dan bangunan lain. Anak-anak, termasuk anak saya, harus rela bermain di atas jalan beton yang membahayakan kaki-kaki kecil mereka.
Walaupun lapangan tegalyoso tempat saya pertama kali belajar sepakbola masih ada, namun kondisinya kini telah jauh berubah. Lapangan itu kini dikelilingi perumahan-perumahan mewah yang penghuninya bukan warga desa setempat melainkan orang-orang Jakarta yang ke Jogja hanya pada saat liburan saja.
Saya tidak tau kemana arah pembangunan Jogja yang sampai hari ini cenderung berpihak pada developer-developer yang memberangus hak-hak anak-anak kecil untuk bermain bola. Mimpi mereka untuk bermain layaknya idola mereka kini Lionel Messi ataupun Christiano Ronaldo, seperti saya dulu saat dengan begitu bersemangat bermain seperti idola saya Paolo Maldini kini terbentur minimnya jumlah lapangan bola di Jogja. Saat ini lapangan bola menjelma menjadi tempat-tempat futsal dimana kita harus membayar mahal sewanya setiap kali ingin menggunakan. Hotel-hotel dan apartemen pun menjelmakan Jogja menjadi kota Metropolitan seperti Jakarta. Dari mulai lapangan bola hingga bangunan bersejarah pun dihancurkan untuk kepentingan gedung-gedung tinggi itu. Saya pernah merasakan bagaimana kota metropolitan seperti Jakarta, memperlakukan anak-anak kecil yang ingin bermain bola, dan celakanya kini, Jogja, kota kelahiran yang saya cintai, dengan kecepatan super berubah wajah menjadi kota metropolitan seperti Jakarta.
Sekali lagi saya sangat sedih melihat beberapa lapangan sepakbola desa kini berubah menjadi gedung-gedung tinggi yang tidak ramah kepada anak-anak kecil yang ingin bermain sepakbola..
Yogyakarta, 24 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar