Breaking News

Jumat, 24 Januari 2014

MOBIL LISTRIK DARI JOGJA

By on 01.31







Berangkat dari mahalnya harga Bahan BAkar Minyak, mobil Listrik karya Wiwien, warga Bumijo, kota Yogyakarta ini, walau terbuat dari bahan baku barang bekas, namun tidak kalah dengan mobil hasil produksi pabrik buatan luar negeri. Fitur yang terdapat di mobil ini pun telah canggih, walau dalam desain yang sederhana. Walau masih memiliki keterbatasan dana dalam hal pengembangan, namun Wiwien tetap ngotot untuk mengembangkan mobil listriknya.


MELAWAN DEMAM BERDARAH DENGAN NYAMUK AEDES AEGYPTI

By on 01.17

Musim hujan merupakan musim yang rawan dengan penyebaran penyakit sperti diare, influenza, dan yang paling berbahaya tentunya demam berdarah. Demam berdarah termasuk kategori penyakit menular dengan media penularan nyamuk jenis Aedes Aegypti. Nyamuk yang telah menggigit hingga menyebabkan demam berdarah dapat pula menggigit orang lain hinggqa terjangkit penyakit serupa. Virus Dengue yang berkembang biak pada nyamuk Aedes Aegypti lah yang menyebabkan berjangkitnya wabah demam berdarah hingga dapat berakibat fatal, yakni menimbulkan korban jiwa. Setelah berbagai riset dilakukan untuk mencegah wabah mematikan demam berdarah, sebuah laboratorium baru-baru ini memperkenalkan pencegahan demam berdarah dengan cara alami, yakni menekan populasi nyamuk Aedes Aegypti yang terjangkit virus Dengue. Menurut Riris Andono Ahmad, MPH, Ph.D, peneliti utama "Eliminate Dengue Project", caranya adalah dengan mengimunisasi nyamuk Aedes Aegyti dengan bakteri bernama Bulbakia. Nyamuk Aedes Aegypti yang telah diimunisasi bakteri Bulbakia lalu dilepas ke daerah-daerah yang potensial menjadi habitat nyamuk Aedes Aegypti yang masih mengandung virus Dengue. Secara alamiah, nyamuk yang telah diimun Bulbakia jika kawin dengan nyamuk yang masih mengandung virus Dengue. Bakteri Bulbakia yang telah diimunkan di nyamuk akan menekan perkembangan bakteri Dengue di anak nyamuk yang dihasilkan dari perkawinan tadi. Efek jangka lamanya adalah semakin tertekannya populasi nyamuk yang terjangkit Dengue berganti dengan nyamuk yang telah mengandung bakteri Bulbakia. Nyamuk Aedes Aegypti yang diimunisasi Bulbakia sendiri tidak berbahaya jika menggigit manusia karena pada dasarnya bakteri Bulbakia tidak bisa hidup di tubuh mamalia termasuk manusia. Bulbakia hanya hidup di dalam tubuh serangga seperti nyamuk, sehingga manusia yang tergigit nyamuk Aedes Aegypti yang telah diimun Bulbakia tidak akan terjangkit demam berdarah. Bakteri Bulbakia sendiri merupakan hasil riset Monash University, Australia selama hampir sepuluh tahun terakhir. Indonesia merupakan negara ketiga setelah Australia dan Vietnam yang menggunakan bakteri Bulbakia untuk menghambat penyebaran wabah demam berdarah. Di Indonesia sendiri cara ini merupakan cara yang benar-benar baru dan masih dalam tahap penelitian lebih lanjut sebelum disebarkan. Yogyakarta sendiri merupakan tempat pertama yang digunakan untuk ujicoba penggunaan bakteri Bulbakia yang diimunkan di nyamuk Aedes Aegypti. Beberap dusun di daerah Nogotirto, Gamping, Sleman meenjadi tempat ujicoba pertama kali dengan melepaskan dua ekor nyamuk di setiap titik yang dianggap tempat berkembang biak nyamuk Aedes Aegypti yang terjangkit dengue. Rencananya, jika ujicoba ini berhasil, nyamuk Aedes Aegypti yang mengandung bakteri Bulbakia ini akan disebar ke seluruh Indonesia sebagai cara untuk menekan wabah demam berdarah yang selama ini menjadi momok bagi masyarakat Indonesia.
Laporan Wahyu Juniawan "untuk tugas akhir mata kuliah Jurnalisme Online" Hasil wawancara langsung dengan Peneliti Eliminate Dengue Project Yogyakarta, Jl. Pandega Sakti No. 159, Manggung, Catur Tunggal, Depok, Sleman(0274-883054)Tanggal 24Januari 2014

Kamis, 07 November 2013

Kisah dari Pegunungan Selatan yang Dianggap Terbelakang

By on 09.18

Gunung Kidul bagi anda mungkin berkonotasi dengan keterbelakangan, namun buat saya Gunung Kidul dalam satu sisi merupakan wajah eksotis dan di sisi lain merupakan misteri. Terlalu berlebihan?saya rasa tidak. Suatu hari yang terik saya berkunjung ke sebuah pantai karena undangan rekan-rekan Pemuda Pecinta Alam Gunung kidul atau PPA. Sebuah pantai bernama aneh dan sulit dijangkau karena harus melalui jalan berbatu yang hanya bisa dilewati motor atau mobil dengan kelas extreme. Pantai di teluk kecil dan pasir putih dengan luas sekitar 200 an meter persegi. Hanya saya dan rekan-rekan PPA serta warga desa yang pernah ke pantai tersembunyi itu. Ketika sore tiba, saya cukup tiduran di pasir putih ditemani suara macapatan warga setempat, saya sudah bisa menyaksikan sunset merah bergelayut di ujung lautan di depan saya. Tidak perlu jauh-jauh ke Bali, pikir saya saat itu, menyaksikan sebuah eksotisme satu dari puluhan pantai alam dengan kategori istimewa menurut saya. Gunung Kidul merupakan kawasan yang secara geologis konon merupakan kawasan bawah laut. Gunung Kidul terangkat saat terjadi gempa besar di selatan jawa. Itulah mengapa daerah ini jarang ditemui air, karena struktur tanah di kawasan ini adalah tanah kapur yang berongga, sehingga air hujan selalu meresap dan tidak bisa tertampung. Di Gunung Kidul, telaga merupakan kawasan sumber kehidupan. Tidak sedikit masyarakat Gunung Kidul yang menganggap telaga merupakan daerah yang harus jaga baik secara harfiah indera manusia maaupun secara filosofis. Ritual-ritual seperti tayub di daerah dusun Serpeng, kelurahan Pacar Rejo, Kecamatan Semanu, adalah gambaran bagaimana telaga menjadi kawasan yang sangat dijaga dan dihormati. Ritual Tayub Merti Telaga dilakukan warga setiap tahun menjelang musim hujan di pinggir telaga di ujung dusun. Konon tari tayub merupakan tarian yang digemari "para penunggu telaga". Tidak jauh dari telaga Serpeng itulah saya mendapatkan kejadian menarik ketika saya mengunjungi pohon besar yang oleh warga Gunung kidul dinamai pohon Kanigoro. Saya jadi teringat nama Kanigoro identik dengan kerajaan Majapahit. Mahkota para raja Majapahit dinamakan kuluk/ Mahkota Kanigoro. Konon Mahkona yang kini "dicuri" Belanda dan di monumenkan di museum Leiden Belanda adalah mahkota yang berbentuk kepala harimau dan burung Merak. Harimau melambangkan kekuasaan, burung Merak menggambarkan keindahan dan keanggunan. Di Gunung Kidul setiap tempat di mana terdapat pohon Kanigoro dipercaya warga dulunya pernah menjadi persinggahan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. konon ketika kerajaan Demak yang beragama Islam menyerang Majapahit hindu, Brawijaya V pun melarikan diri ke selatan Jawa. Tibalah Brawijaya V di kawasan sepi dan jauh dari penduduk. Mulailah ia bersama pengawal-pengawalnya memulai hidup di pedalaman Gunung Kidul menghindari kejaran tentara Demak. Brawijawa berpindah-pindah tempat untuk menghilangkan jejak. Pada saat berpindah-pindah itulah Braijaya V menanam pohon yang dinamai Kanigoro sebagai tetenger atau tanda arah agar ia tidak tersesat dan mengetahui arah untuk menghindari kejaran tentara Demak. Karena itulah ritual-ritual, budaya, dan pandangan orang di Gunung Kidul sangat berbeda dengan Mataram atau sekarang Yogyakarta. Mataram merupakan turunan dari Demak yang menganut agama Islam, sementara Majapahit hingga masa keruntuhannya tetap setia menganut agama Hindu. Dari anak pinak antara warga lokal dengan pengikut Brawijaya V lah awal mula masyarakat Gunung Kidul yang sekarang terbentuk. Sampai hari ini banyak masyarakat "loyalis" Majapahit yang tidak merasa menjadi bagian dari Mataram Islam yang sekarang Yogyakarta. Mereka masih menganggap Mataram adalah bangsa penjajah yang membuat mereka tersingkir dari negerinya. Mataram yang merupakan keturunan Demak lah yang membuat Majapahit runtuh. Memang data ini belum banyak dikonfirmasi kebenarannya, namun secara langsung saat saya menemui beberapa "loyalis" yang masih mempertahankan adat Hindu Majapahit yang disamarkan hingga sekarang, perasaan bahwa mereka bukan bagian dari Mataram masih ada hingga sekarang. Bahkan beberapa secara eksplisit mengungkapkan kebencian dan dendam sejarah mereka kepada Mataram. Mereka menganggap Sunan Kalijaga yang di minta mengislamkan Gunung Kidul adalah penjajah yang memaksakan ideologi keagamaaan kepada masyarakat di Gunung Kidul. Di seputaran Gunung Kidul sendiri hingga kini masih banyak kita jumpai budaya dan ritual yang berafiliasi dengan agama Hindu. Bahkan di Pantai Ngobaran, yang dipercaya sebagai tempak mukso atau menghilangnya Brawijaya V, terdapat Pura kecil di pinggir pantai. Sejarah Gunung kidul hingga kini masih menjadi misteri yang belum terungkap secara lengkap. Ketika saya berbincang dengan beberapa orang di sana, mereka mengungapkan bahwa sejarah Gunung Kidul terlalu panjang untuk diceritakan. Dari mulai masa runtuhnya Majapahit hingga reog Ponorogo bisa dikatakan budaya pelarian yang menyembunyikan identitas asli Majapahit dari Islamisasi yang dilakukan Demak dan Mataram. Maka dari itu jika anda berkunjung ke Gunung Kidul, anda bisa menjumpai sisi eksotisme hingga misteri yang menyelingkupi wilayah yang ribuan tahun silam merupakan dasar lautan.

Jumat, 01 November 2013

Raja Jalanan Yang Tersingkir dari Peradaban

By on 07.47

Ingatkah anda dengan gerobak sapi?Gerobak sapi terakhir masih muncul di jalan-jalan desa sekitar tahun 90 an. Setelah itu gerobak sapi praktis lenyap dari jalan-jalan di desa dan perannya digantikan oleh mobil bak terbuka ataupun truk yang biaya operasionalnya lebih murah dari gerobak sapi. Namun pergeseran itu juga merugikan generasi sekarang, saat anak-anak jaman ini tidak lagi menyaksikan ke khas-an moda transportasi yang rupanya telah ada sejak jaman kerajaan Majapahit. Menurut pengamat sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Profesor Joko Suryo, Raja Majapahit Hayam Wuruk pernah menggunakan gerobak sapi sebagai moda transportasi pengangkut barang ketika itu. Gerobak sapi mengalami masa kejayaan pada masa kolonial Hindia Belanda, tepatnya pada masa tanam paksa. Gerobak sapi menjadi moda transportasi utama pengangkut barang-barang berat terutama komoditi seperti kopi, teh, gula, dan kayu dari pedalaman menuju pelabuhan untuk diangkut ke Belanda. Kejayaan gerobak sapi ini didukung oleh dibangunnya jalan-jalan dari pedalaman ke pelabuhan dengan menggunakan sistem tanam paksa. Gerobak sapi masih menjadi raja jalanan hingga tahun 90 an sebagai transportasi pengangkut hasil bumi pertanian seperti gabah, kedelai, dan palawija. Kini gerobak sapi tinggal menjadi bagian sejarah. Moda transportasi tradisional ini hanya muncul saat digelar festival yang melibatkan gerobak-gerobak sapi tradisional.Anak-anak bangsa ini pun seperti kehilangan jalur untuk mengetahui sejarah transportasi bangsanya, karena praktis gerobak sapi hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Hanya sedikit sekolah yang memberikan edukasi mengenai masa-masa kejayaan gerobak sapi. Saksikan Program Asal Usul episode "Gerobak Sapi" di www.malioboro.tv

Alasan Untuk Sebuah Loyalitas

By on 06.25

Matahari sedang terik-teriknya ketika tiba-tiba motor mio yang saya kendarai mengalami bocor ban. Beruntung tidak jauh dari situ ada tempat tambal ban kecil di pinggir selokan Mataram. Seorang bapak tua berkacamata sedang sibuk mengotak-atik mesin motor tua Suzuki RC. "nuwun sewu pak...badhe nambal ban..."..dengan memicingkan mata di balik kacamata berbingkai tua nya ia meminta saya menunggu sebentar.Tak lama kemudian bapak itu yang belakangan saya ketahui bernama pak Jarot pun memulai pekerjaannya menambal ban. Dalam hati saya merasa pak jarot ini berbeda dalam hal bahasa dan pola bicara...seperti bukan orang daerah Sleman sini.. Lalu saya pun bertanya asal beliau yang dibilang berasal dari sebuah kampung di daerah kota Jogja. Namun semenjak tahun 2001, pak Jarot meninggalkan rumah kontrakannya di Kota dan memilih membeli sepetak tanah kecil di daerah Sleman Barat. Pak Jarot pun bercerita bagaimana ia memilih pindah ke pinggiran kota dan apa saja aktifitasnya..dengan bahasa jawa yang halus saya pun bertanya..."njenengan abdi njih pak?"..abdi yang saya maksudkan adalah abdi dalem...abdi kraton kesultanan Yogyakarta. Pak jarot pun tersenyum mengiyakan..... "sekarang abdi dalem itu cuma jadi bahan becandaan di kampung mas..." saya bertugas di gerbang Keben (gerbang tempat masuk wisatawan jika akan berkunjung ke Kraton)...saya tugasnya kalau sekarang ya staf personalia mas...di bagian administrasi abdi dalem.... Lalu saya bertanya gaji-gaji para abdi dalem hingga Sultan Yogyakarta itu berapa saja? "wah kalo gaji ndak usah di harapkan mas...untuk beli rokok saja pas....gaji saya per bulan kurang lebih 10 ribu Rupiah...Dalam satu bulan saya bekerja kurang lebih 3 kali...selang-seling tiap 10 hari sekali...." "Kalau sultan gajinya sekitar 90 ribu Rupiah...." (saya pun membayangkan sekelas Sultan saja segitu...apalagi abdi di bawahnya..) "Pada posisi abdi kraton, antara abdi dalem dengan abdi keprajuritan sama-sama nggak enak mas...sama-sama rekoso" Lalu saya pun tanya,..."lha trs njenengan padhos nopo (lha anda nyari apa dengan gaji segitu?") Pak Jarot sambil mengecek ban saya yang hampir selesai ditambal pun berujar... "kulo teng kraton niku mboten padhos arta mas...kulo namung padhos berkah..supados gesang kulo, usaha kulo, anak-anak kulo, lan sak sedayane menika dilimpahi berkah...dados kulo mboten mikir gajine pinten...namung ngalap berkah mawon..." (saya di kraton itu tidak nyari duit..tp saya mencari berkah supaya, hidup saya..usaha saya, anak-anak saya, dan semuanya mendapat berkah...jadi nggak mikir gajinya berapa...hanya mengharap berkah dari kraton...) Sekali lagi pak jarot bercerita bagaimana abdi dalem sekarang di dusunnya hanya menjadi bahan tertawaan....namun ia mengaku tetap senang menjadi abdi dalem....hanya karena alasan kecil, yang untuk hidup dan keyakinan mereka, tidak sesepele pandangan orang..yakni mencari berkah kraton agar usahanya lancar... Begitu sederhananya pemikiran seorang rayat kecil untuk alasan pengabdian mereka...bukan materi, namun kesahajaan hidup yang dicari... Saya jadi ingat waktu Sultan Hamengkubuwono X mencalonkan diri menjadi calon presiden tahun 2008 lalu. Di sebuah acara debat televisi, Sultan Yogya itu dicecar masalah kesejahteraan abdi dalem. Sultan dianggap mewarisi budaya feodalisme kraton-kraton jaman dahulu terutama Mataram. Sultan saat itu menjelaskan bahwa abdi dalem bukan hanya perkara gaji, namun sebuah pengabdian kepada sebuah kepercayaan turun-temurun budaya nenek moyang yang tidak bisa dipandang dari sebuah sisi bernama materi. Mereka mengabdi bukan untuk Sultannya...namun mereka mengabdi untuk kraton Yogyakarta yang mereka anggap sebagai warisan kebijaksaan nenek moyang sebagai sebuah penjaga kebijakan, budaya, dan sebuah kepercayaan. Dari pak Jarot saya baru sadar, mungkin alasan-alasan tentang pengabdian yang "dibayar murah" itu tidak akan sampai pada pemikiran para politisi di Jakarta sana. Buat mereka yang hidup di kota metropolitas sekelas Jakarta, mungkin sebuah pengabdian harus berbanding lurus dengan materi yang di dapat. Tanpa materi sepadan, pengabdian yang diberikan pun pas bandrol alias tanpa totalitas. Mungkin saya mengeneralisasi masalah pengabdian ini namun mungkin juga tidak. Untuk orang-orang sekarang, terutama politik, loyalitas adalah jabatan dan uang... Selesai berbincang dengan pak Jarot, saya pun buru-buru pulang memacu motor mio saya dengan sebuah kesadaran baru, sebuah kesadaran yang mengubah pola pikir saya tentang loyalitas dan totalitas..

Jogja Kota Anti Taman Bermain

By on 06.20

Perasaan sedih menyembul setiap melihat lapangan bola tiba-tiba dipagari seng..tanda akan segera di dirikan bangunan.. Sepertinya sebentar lagi Jogja tidak lagi ramah kepada anak-anak desa yang tiap sore bermain bola di lapangan desa yang becek setiap kali hujan tiba..Terbayang dahulu tahun 90 an ketika saya pertama kali mengenal sepakbola dari teman-teman di desa. Kami latihan setiap kamis sore di sebuah lapangan bola bernama Tegalyoso yang ada di daerah Sleman selatan. Begitu riangnya ketika itu tanpa menghiraukan kotoran kerbau yang "diangon" siangnya. Seringkali sepatu bola murah yang kami beli di pasar senthir belepotan kotoran kerbau selesai latihan bola. Nama klub kami waktu itu Putrabuana FC dengan seragam lusuh berwarna biru langit. Posisi saya waktu itu adalah bek kiri hanya karena saya sangat mengidolakan legenda Italia dan AC Milan Paolo Maldini yang berposisi sama. Walaupun hanya bisa memaksimalkan kaki kanan, namun demi idola, saya sangat bersemangat memerankan posisi bek kiri sesuai posisi asli Paolo Maldini. Seiring dengan usia bertambah dan masing-masing dari anggota Putrabuana harus mencari jalan hidup masing-masing, kami pun bubar setelah sempat mencicipi kompetisi divisi 3 Persiba Bantul waktu itu. Saat SMA di SMA 6 Yogyakarta dan kuliah di D3 Broadcasting UGM, skill bola seadanya itu saya bawa ke lapangan yang lebih mewah yakni Stadion Madya Universitas Gadjah Mada di kawasan lembah UGM. Waktu itu saya membawa jurusan D3 Komunikasi juara kompetisi sepakbola antar Jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Selepas kuliah saya pun merantau ke Jakarta. Sepakbola tetap saya bawa sebagai hobi saya ketika suasana hati dan pikiran sudah lelah dengan kehidupan di Jakarta. Seiring dengan ikutnya saya di tim Sepakbola Trans TV waktu itu, saya pun bersama tim sepakbola Trans TV mencicipi lapangan yang lebih mentereng lagi dibanding di UGM. Dari mulai lapangan bola bintaro yang biasa dipakai ekspatriat, lawan saya pun bertambah mentereng....Yeyen Tumena, bek tim nasional Indonesia waktu itu hingga Kurniawan Dwi Yulianto, striker legenda timnas. Selain itu rekan-rekan lain dari mulai Duta dan Adam Sheila On 7, Piyu Padi, sigit budiarto pebulutangkis nasional pun ikut menjadi "lawan" saya...Selain Bintaro, lapangan tempat latihan tim nasional Indonesia, stadion lebak bulus, stadion sumantri brojonegoro Kuningan, hingga Stadion Utama Gelora Bung Karno pun bisa saya rasakan. Walau sempat berbuah kartu merah karena terlibat keributan sewaktu liga media antara Trans TV melawan tabloid Sinar Harapan (beritanya sempat masuk tabloid olahraga terkemuka "Bola") namun saya sangat senang. Dari lapangan kecil Tegalyoso di ujung desa hingga Stadion Utama Gelora Bung Karno pernah saya cicipi. Kini saya telah kembali dari petualangan panjang saya di Jakarta dan kembali ke tanah kelahiran yang saya cintai, Jogja. Namun alangkah sedihnya saya ketika melihat lapangan-lapangan sepakbola di desa kini menjadi lokasi perumahan dan bangunan lain. Anak-anak, termasuk anak saya, harus rela bermain di atas jalan beton yang membahayakan kaki-kaki kecil mereka. Walaupun lapangan tegalyoso tempat saya pertama kali belajar sepakbola masih ada, namun kondisinya kini telah jauh berubah. Lapangan itu kini dikelilingi perumahan-perumahan mewah yang penghuninya bukan warga desa setempat melainkan orang-orang Jakarta yang ke Jogja hanya pada saat liburan saja. Saya tidak tau kemana arah pembangunan Jogja yang sampai hari ini cenderung berpihak pada developer-developer yang memberangus hak-hak anak-anak kecil untuk bermain bola. Mimpi mereka untuk bermain layaknya idola mereka kini Lionel Messi ataupun Christiano Ronaldo, seperti saya dulu saat dengan begitu bersemangat bermain seperti idola saya Paolo Maldini kini terbentur minimnya jumlah lapangan bola di Jogja. Saat ini lapangan bola menjelma menjadi tempat-tempat futsal dimana kita harus membayar mahal sewanya setiap kali ingin menggunakan. Hotel-hotel dan apartemen pun menjelmakan Jogja menjadi kota Metropolitan seperti Jakarta. Dari mulai lapangan bola hingga bangunan bersejarah pun dihancurkan untuk kepentingan gedung-gedung tinggi itu. Saya pernah merasakan bagaimana kota metropolitan seperti Jakarta, memperlakukan anak-anak kecil yang ingin bermain bola, dan celakanya kini, Jogja, kota kelahiran yang saya cintai, dengan kecepatan super berubah wajah menjadi kota metropolitan seperti Jakarta. Sekali lagi saya sangat sedih melihat beberapa lapangan sepakbola desa kini berubah menjadi gedung-gedung tinggi yang tidak ramah kepada anak-anak kecil yang ingin bermain sepakbola.. Yogyakarta, 24 September 2013

Sebuah Amanah di Mata Maridjan

By on 05.57

Sore itu saya mengikuti beberapa rekan media ke sebuah rumah ber arsitektur Jawa pedesaan. Komplek rumah itu terdiri dari dua rumah besar dengan halaman yang cukup luas serta sebuah warung dan mushalla kecil di sampingnya. Beberapa waktu terakhir, penghuni rumah itu menjadi pusat perhatian warga lokal hingga dunia. Siapa yang tidak kenal sosok bernama Mbah Maridjan, sang juru kunci gunung Merapi waktu itu, ketika gunung Merapi memasuki fase erupsi dan dinyatakan dalam status siaga, yang artinya gunung berapi teraktif di dunia itu akan segera meletus dalam hitungan hari. Ketika itu matahari mulai condong ke arah barat. Jam menunjukkan pukul 2 siang ketika saya bersama 3 rekan dari Anteve, Indosiar, dan Tvone memasuki rumah yang sangat sederhana itu. Kami pun disambut sesosok tua yang telah saya kenal semenjak menjadi pelajar pecinta alam di SMA 6 Yogyakarta belasan tahun lalu. Mbah Maridjah merupakan sosok manusia sederhana, lugu, jujur, dan apa adanya. Dia menolak untuk kami rekam, namun mempersilakan kami untuk datang sekadar ngobrol-ngobrol. Saat kami bertanya mengapa beliau tidak mau turun mengikuti evakuasi, beliau pun menjawab dengan singkat..."karena Merapi tidak perlu ditakuti...karena merapi hanya sedang membangun...karena beliau didaulat untuk mengemban amanah "ngemong" atau menjaga gunung yang dikeramatkan warga Yogyakarta tersebut. Sebelum sumpahnya dicabut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, beliau tetap akan menjaga Merapi, seperti Ki Semar Bodronoyo menjaga para Ksatria Pandawa. Belakangan kita ketahui, Mbah Maridjan menjadi salah satu korban erupsi pertama gunung Merapi tanggal 26 Oktober 2010 silam. Saya mendapat "kehormatan" menjadi saksi terahir sebelum dusun Kinahrejo, tempat tinggal Mbah Maridjan terkubur material panas Merapi. Beliau pun dinyatakan hilang selama kurang lebih 9 jam, sebelum operasi SAR Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin Ferry Ardiyanto, menemukan jasad beliau dalam posisi bersujud ke arah selatan, masih di komplek rumah Mbah Maridjan sekitar pukul 3 dini hari. Raden Ngabehi Surakso Hargo atau Mas Penewu Surakso Hargo yang lebih dikenal dengan mbah Maridjan lahir di dusun Kinahrejo, kelurahan Umbulharjo, kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, tanggal 5 Februari 1927 silam. Beliau mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1971. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengangkat Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi pada tahun 1982.Juru kunci merupakan jabatan yang diemban Mbah Maridjan sebagai perwakilan Kraton Yogyakarta di wilayah gunung Merapi. Juru kunci yang dimaksud bukanlah juru kunci yang selama ini terkenal sebagai spiritualis dimata masyarakat, melainkan sebagai "pembuka gerbang" dan orang yang diberi tugas serta wewenang sebagai perwakilan kraton Yogyakarta untuk mengadakan upacara maupun sesaji kepada gunung Merapi, yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa dianggap sebagai simbolisasi hubungan antara Manusia dengan Tuhan Sang Pencipta Alam. Amanah itulah yang membuat Mbah Maridjan menolak dikatakan pengecut dengan meninggalkan Merapi yang dimomongnya walaupun harus dibayar mahal dengan nyawa. Buat beliau, amanah adalah sumpah yang harus ia jalankan sepenuh hati. Pantang baginya melanggar sumpah dan amanah yang dibebankan sebelum sumpah dan amanah itu dicabut oleh sang pemberi amanah, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang wafat pada 1988 silam. (wawancara dengan mbah Maridjan, 2006). Bagi orang yang tidak mengetahui tentang filsafat Jawa, apa yang dilakukan oleh mbah Maridjan merupakan kebodohan, dengan "menantang" dahsyatnya erupsi gunung Merapi. Bahkan sekelas menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial, Agung Laksono, mengkritik apa yang dilakukan oleh mbah Maridjan saat terjadi erupsi Gunung Bromo dengan mengatakan "untung di Bromo tidak ada Mbah Maridjan". Tanpa disadari, apa yang dilakukan oleh beliau merupakan sebuah potret bagaimana sebuah amanah merupakan sebuah pengejawantahan janji yang diemban tanpa kepentingan apapun hingga akhir hayat. Jiwa itulah yang akhir-akhir ini tidak dipunyai oleh pejabat-pejabat negara ini. Sebuah jabatan yang merupakan amanah diartikan menjadi sebuah kekuasaan yang di terjemahkan sesuai kepentingan pribadi dan partai/golongan. Pemilu 2014 menjadi cermin bagaimana amanah itu menjadi sebuah "lelang jabatan/ kekuasaan" yang menghamburkan uang milyaran rupiah demi kepentingan pribadi atau partai untuk menguasai sebuah senjata ampuh bernama kebijakan. Sebuah potret seorang warga desa lugu bernama mbah Maridjan seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa ini bagaimana sebuah amanah di terjemahkan menjadi sebuah jabatan yang dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, minimal masyarakat sekitar rumah, yakni di seputaran lereng Merapi,meskipun resiko yang ditanggung teramat besar. Yogyakarta, 26 Oktober 2013 ( Peringatan 3 tahun Erupsi Merapi)