Sore itu saya mengikuti beberapa rekan media ke sebuah rumah ber arsitektur Jawa pedesaan. Komplek rumah itu terdiri dari dua rumah besar dengan halaman yang cukup luas serta sebuah warung dan mushalla kecil di sampingnya. Beberapa waktu terakhir, penghuni rumah itu menjadi pusat perhatian warga lokal hingga dunia. Siapa yang tidak kenal sosok bernama Mbah Maridjan, sang juru kunci gunung Merapi waktu itu, ketika gunung Merapi memasuki fase erupsi dan dinyatakan dalam status siaga, yang artinya gunung berapi teraktif di dunia itu akan segera meletus dalam hitungan hari.
Ketika itu matahari mulai condong ke arah barat. Jam menunjukkan pukul 2 siang ketika saya bersama 3 rekan dari Anteve, Indosiar, dan Tvone memasuki rumah yang sangat sederhana itu. Kami pun disambut sesosok tua yang telah saya kenal semenjak menjadi pelajar pecinta alam di SMA 6 Yogyakarta belasan tahun lalu. Mbah Maridjah merupakan sosok manusia sederhana, lugu, jujur, dan apa adanya. Dia menolak untuk kami rekam, namun mempersilakan kami untuk datang sekadar ngobrol-ngobrol. Saat kami bertanya mengapa beliau tidak mau turun mengikuti evakuasi, beliau pun menjawab dengan singkat..."karena Merapi tidak perlu ditakuti...karena merapi hanya sedang membangun...karena beliau didaulat untuk mengemban amanah "ngemong" atau menjaga gunung yang dikeramatkan warga Yogyakarta tersebut. Sebelum sumpahnya dicabut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, beliau tetap akan menjaga Merapi, seperti Ki Semar Bodronoyo menjaga para Ksatria Pandawa.
Belakangan kita ketahui, Mbah Maridjan menjadi salah satu korban erupsi pertama gunung Merapi tanggal 26 Oktober 2010 silam. Saya mendapat "kehormatan" menjadi saksi terahir sebelum dusun Kinahrejo, tempat tinggal Mbah Maridjan terkubur material panas Merapi. Beliau pun dinyatakan hilang selama kurang lebih 9 jam, sebelum operasi SAR Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin Ferry Ardiyanto, menemukan jasad beliau dalam posisi bersujud ke arah selatan, masih di komplek rumah Mbah Maridjan sekitar pukul 3 dini hari.
Raden Ngabehi Surakso Hargo atau Mas Penewu Surakso Hargo yang lebih dikenal dengan mbah Maridjan lahir di dusun Kinahrejo, kelurahan Umbulharjo, kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, tanggal 5 Februari 1927 silam. Beliau mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1971. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengangkat Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi pada tahun 1982.Juru kunci merupakan jabatan yang diemban Mbah Maridjan sebagai perwakilan Kraton Yogyakarta di wilayah gunung Merapi. Juru kunci yang dimaksud bukanlah juru kunci yang selama ini terkenal sebagai spiritualis dimata masyarakat, melainkan sebagai "pembuka gerbang" dan orang yang diberi tugas serta wewenang sebagai perwakilan kraton Yogyakarta untuk mengadakan upacara maupun sesaji kepada gunung Merapi, yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa dianggap sebagai simbolisasi hubungan antara Manusia dengan Tuhan Sang Pencipta Alam.
Amanah itulah yang membuat Mbah Maridjan menolak dikatakan pengecut dengan meninggalkan Merapi yang dimomongnya walaupun harus dibayar mahal dengan nyawa. Buat beliau, amanah adalah sumpah yang harus ia jalankan sepenuh hati. Pantang baginya melanggar sumpah dan amanah yang dibebankan sebelum sumpah dan amanah itu dicabut oleh sang pemberi amanah, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang wafat pada 1988 silam. (wawancara dengan mbah Maridjan, 2006).
Bagi orang yang tidak mengetahui tentang filsafat Jawa, apa yang dilakukan oleh mbah Maridjan merupakan kebodohan, dengan "menantang" dahsyatnya erupsi gunung Merapi. Bahkan sekelas menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial, Agung Laksono, mengkritik apa yang dilakukan oleh mbah Maridjan saat terjadi erupsi Gunung Bromo dengan mengatakan "untung di Bromo tidak ada Mbah Maridjan". Tanpa disadari, apa yang dilakukan oleh beliau merupakan sebuah potret bagaimana sebuah amanah merupakan sebuah pengejawantahan janji yang diemban tanpa kepentingan apapun hingga akhir hayat. Jiwa itulah yang akhir-akhir ini tidak dipunyai oleh pejabat-pejabat negara ini. Sebuah jabatan yang merupakan amanah diartikan menjadi sebuah kekuasaan yang di terjemahkan sesuai kepentingan pribadi dan partai/golongan. Pemilu 2014 menjadi cermin bagaimana amanah itu menjadi sebuah "lelang jabatan/ kekuasaan" yang menghamburkan uang milyaran rupiah demi kepentingan pribadi atau partai untuk menguasai sebuah senjata ampuh bernama kebijakan.
Sebuah potret seorang warga desa lugu bernama mbah Maridjan seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa ini bagaimana sebuah amanah di terjemahkan menjadi sebuah jabatan yang dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, minimal masyarakat sekitar rumah, yakni di seputaran lereng Merapi,meskipun resiko yang ditanggung teramat besar.
Yogyakarta, 26 Oktober 2013 ( Peringatan 3 tahun Erupsi Merapi)