Jumat, 01 November 2013

Alasan Untuk Sebuah Loyalitas

By on 06.25

Matahari sedang terik-teriknya ketika tiba-tiba motor mio yang saya kendarai mengalami bocor ban. Beruntung tidak jauh dari situ ada tempat tambal ban kecil di pinggir selokan Mataram. Seorang bapak tua berkacamata sedang sibuk mengotak-atik mesin motor tua Suzuki RC. "nuwun sewu pak...badhe nambal ban..."..dengan memicingkan mata di balik kacamata berbingkai tua nya ia meminta saya menunggu sebentar.Tak lama kemudian bapak itu yang belakangan saya ketahui bernama pak Jarot pun memulai pekerjaannya menambal ban. Dalam hati saya merasa pak jarot ini berbeda dalam hal bahasa dan pola bicara...seperti bukan orang daerah Sleman sini.. Lalu saya pun bertanya asal beliau yang dibilang berasal dari sebuah kampung di daerah kota Jogja. Namun semenjak tahun 2001, pak Jarot meninggalkan rumah kontrakannya di Kota dan memilih membeli sepetak tanah kecil di daerah Sleman Barat. Pak Jarot pun bercerita bagaimana ia memilih pindah ke pinggiran kota dan apa saja aktifitasnya..dengan bahasa jawa yang halus saya pun bertanya..."njenengan abdi njih pak?"..abdi yang saya maksudkan adalah abdi dalem...abdi kraton kesultanan Yogyakarta. Pak jarot pun tersenyum mengiyakan..... "sekarang abdi dalem itu cuma jadi bahan becandaan di kampung mas..." saya bertugas di gerbang Keben (gerbang tempat masuk wisatawan jika akan berkunjung ke Kraton)...saya tugasnya kalau sekarang ya staf personalia mas...di bagian administrasi abdi dalem.... Lalu saya bertanya gaji-gaji para abdi dalem hingga Sultan Yogyakarta itu berapa saja? "wah kalo gaji ndak usah di harapkan mas...untuk beli rokok saja pas....gaji saya per bulan kurang lebih 10 ribu Rupiah...Dalam satu bulan saya bekerja kurang lebih 3 kali...selang-seling tiap 10 hari sekali...." "Kalau sultan gajinya sekitar 90 ribu Rupiah...." (saya pun membayangkan sekelas Sultan saja segitu...apalagi abdi di bawahnya..) "Pada posisi abdi kraton, antara abdi dalem dengan abdi keprajuritan sama-sama nggak enak mas...sama-sama rekoso" Lalu saya pun tanya,..."lha trs njenengan padhos nopo (lha anda nyari apa dengan gaji segitu?") Pak Jarot sambil mengecek ban saya yang hampir selesai ditambal pun berujar... "kulo teng kraton niku mboten padhos arta mas...kulo namung padhos berkah..supados gesang kulo, usaha kulo, anak-anak kulo, lan sak sedayane menika dilimpahi berkah...dados kulo mboten mikir gajine pinten...namung ngalap berkah mawon..." (saya di kraton itu tidak nyari duit..tp saya mencari berkah supaya, hidup saya..usaha saya, anak-anak saya, dan semuanya mendapat berkah...jadi nggak mikir gajinya berapa...hanya mengharap berkah dari kraton...) Sekali lagi pak jarot bercerita bagaimana abdi dalem sekarang di dusunnya hanya menjadi bahan tertawaan....namun ia mengaku tetap senang menjadi abdi dalem....hanya karena alasan kecil, yang untuk hidup dan keyakinan mereka, tidak sesepele pandangan orang..yakni mencari berkah kraton agar usahanya lancar... Begitu sederhananya pemikiran seorang rayat kecil untuk alasan pengabdian mereka...bukan materi, namun kesahajaan hidup yang dicari... Saya jadi ingat waktu Sultan Hamengkubuwono X mencalonkan diri menjadi calon presiden tahun 2008 lalu. Di sebuah acara debat televisi, Sultan Yogya itu dicecar masalah kesejahteraan abdi dalem. Sultan dianggap mewarisi budaya feodalisme kraton-kraton jaman dahulu terutama Mataram. Sultan saat itu menjelaskan bahwa abdi dalem bukan hanya perkara gaji, namun sebuah pengabdian kepada sebuah kepercayaan turun-temurun budaya nenek moyang yang tidak bisa dipandang dari sebuah sisi bernama materi. Mereka mengabdi bukan untuk Sultannya...namun mereka mengabdi untuk kraton Yogyakarta yang mereka anggap sebagai warisan kebijaksaan nenek moyang sebagai sebuah penjaga kebijakan, budaya, dan sebuah kepercayaan. Dari pak Jarot saya baru sadar, mungkin alasan-alasan tentang pengabdian yang "dibayar murah" itu tidak akan sampai pada pemikiran para politisi di Jakarta sana. Buat mereka yang hidup di kota metropolitas sekelas Jakarta, mungkin sebuah pengabdian harus berbanding lurus dengan materi yang di dapat. Tanpa materi sepadan, pengabdian yang diberikan pun pas bandrol alias tanpa totalitas. Mungkin saya mengeneralisasi masalah pengabdian ini namun mungkin juga tidak. Untuk orang-orang sekarang, terutama politik, loyalitas adalah jabatan dan uang... Selesai berbincang dengan pak Jarot, saya pun buru-buru pulang memacu motor mio saya dengan sebuah kesadaran baru, sebuah kesadaran yang mengubah pola pikir saya tentang loyalitas dan totalitas..

1 komentar:

  1. hmm.... loyalitas menjadi hal yang mahal di negeri ini.
    menjadi seorang "abdi"/"hamba" dengan totalitas penuh menjadi pengejawantahan rasa tulus dan ikut dengan sepenuh jiwa tanpa pamrih.

    terima kasih atas tulisan anda.

    nb, sekedar saran, untuk mempermudah pembaca, sebaiknya tulisan-tulisan anda dibagi dalam sejumlah paragraf. dalam setiap paragraf (atau pokok pikiran) jadikan maksimal 5-6 baris.

    Sekedar Informasi, modul jurnalisme online mid-semester dapat anda unduh di tautan ini

    salam
    ojclass

    BalasHapus