Gunung Kidul bagi anda mungkin berkonotasi dengan keterbelakangan, namun buat saya Gunung Kidul dalam satu sisi merupakan wajah eksotis dan di sisi lain merupakan misteri. Terlalu berlebihan?saya rasa tidak. Suatu hari yang terik saya berkunjung ke sebuah pantai karena undangan rekan-rekan Pemuda Pecinta Alam Gunung kidul atau PPA. Sebuah pantai bernama aneh dan sulit dijangkau karena harus melalui jalan berbatu yang hanya bisa dilewati motor atau mobil dengan kelas extreme. Pantai di teluk kecil dan pasir putih dengan luas sekitar 200 an meter persegi. Hanya saya dan rekan-rekan PPA serta warga desa yang pernah ke pantai tersembunyi itu. Ketika sore tiba, saya cukup tiduran di pasir putih ditemani suara macapatan warga setempat, saya sudah bisa menyaksikan sunset merah bergelayut di ujung lautan di depan saya. Tidak perlu jauh-jauh ke Bali, pikir saya saat itu, menyaksikan sebuah eksotisme satu dari puluhan pantai alam dengan kategori istimewa menurut saya.
Gunung Kidul merupakan kawasan yang secara geologis konon merupakan kawasan bawah laut. Gunung Kidul terangkat saat terjadi gempa besar di selatan jawa. Itulah mengapa daerah ini jarang ditemui air, karena struktur tanah di kawasan ini adalah tanah kapur yang berongga, sehingga air hujan selalu meresap dan tidak bisa tertampung. Di Gunung Kidul, telaga merupakan kawasan sumber kehidupan. Tidak sedikit masyarakat Gunung Kidul yang menganggap telaga merupakan daerah yang harus jaga baik secara harfiah indera manusia maaupun secara filosofis. Ritual-ritual seperti tayub di daerah dusun Serpeng, kelurahan Pacar Rejo, Kecamatan Semanu, adalah gambaran bagaimana telaga menjadi kawasan yang sangat dijaga dan dihormati. Ritual Tayub Merti Telaga dilakukan warga setiap tahun menjelang musim hujan di pinggir telaga di ujung dusun. Konon tari tayub merupakan tarian yang digemari "para penunggu telaga".
Tidak jauh dari telaga Serpeng itulah saya mendapatkan kejadian menarik ketika saya mengunjungi pohon besar yang oleh warga Gunung kidul dinamai pohon Kanigoro. Saya jadi teringat nama Kanigoro identik dengan kerajaan Majapahit. Mahkota para raja Majapahit dinamakan kuluk/ Mahkota Kanigoro. Konon Mahkona yang kini "dicuri" Belanda dan di monumenkan di museum Leiden Belanda adalah mahkota yang berbentuk kepala harimau dan burung Merak. Harimau melambangkan kekuasaan, burung Merak menggambarkan keindahan dan keanggunan. Di Gunung Kidul setiap tempat di mana terdapat pohon Kanigoro dipercaya warga dulunya pernah menjadi persinggahan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. konon ketika kerajaan Demak yang beragama Islam menyerang Majapahit hindu, Brawijaya V pun melarikan diri ke selatan Jawa. Tibalah Brawijaya V di kawasan sepi dan jauh dari penduduk. Mulailah ia bersama pengawal-pengawalnya memulai hidup di pedalaman Gunung Kidul menghindari kejaran tentara Demak. Brawijawa berpindah-pindah tempat untuk menghilangkan jejak. Pada saat berpindah-pindah itulah Braijaya V menanam pohon yang dinamai Kanigoro sebagai tetenger atau tanda arah agar ia tidak tersesat dan mengetahui arah untuk menghindari kejaran tentara Demak.
Karena itulah ritual-ritual, budaya, dan pandangan orang di Gunung Kidul sangat berbeda dengan Mataram atau sekarang Yogyakarta. Mataram merupakan turunan dari Demak yang menganut agama Islam, sementara Majapahit hingga masa keruntuhannya tetap setia menganut agama Hindu. Dari anak pinak antara warga lokal dengan pengikut Brawijaya V lah awal mula masyarakat Gunung Kidul yang sekarang terbentuk. Sampai hari ini banyak masyarakat "loyalis" Majapahit yang tidak merasa menjadi bagian dari Mataram Islam yang sekarang Yogyakarta. Mereka masih menganggap Mataram adalah bangsa penjajah yang membuat mereka tersingkir dari negerinya. Mataram yang merupakan keturunan Demak lah yang membuat Majapahit runtuh.
Memang data ini belum banyak dikonfirmasi kebenarannya, namun secara langsung saat saya menemui beberapa "loyalis" yang masih mempertahankan adat Hindu Majapahit yang disamarkan hingga sekarang, perasaan bahwa mereka bukan bagian dari Mataram masih ada hingga sekarang. Bahkan beberapa secara eksplisit mengungkapkan kebencian dan dendam sejarah mereka kepada Mataram. Mereka menganggap Sunan Kalijaga yang di minta mengislamkan Gunung Kidul adalah penjajah yang memaksakan ideologi keagamaaan kepada masyarakat di Gunung Kidul.
Di seputaran Gunung Kidul sendiri hingga kini masih banyak kita jumpai budaya dan ritual yang berafiliasi dengan agama Hindu. Bahkan di Pantai Ngobaran, yang dipercaya sebagai tempak mukso atau menghilangnya Brawijaya V, terdapat Pura kecil di pinggir pantai.
Sejarah Gunung kidul hingga kini masih menjadi misteri yang belum terungkap secara lengkap. Ketika saya berbincang dengan beberapa orang di sana, mereka mengungapkan bahwa sejarah Gunung Kidul terlalu panjang untuk diceritakan. Dari mulai masa runtuhnya Majapahit hingga reog Ponorogo bisa dikatakan budaya pelarian yang menyembunyikan identitas asli Majapahit dari Islamisasi yang dilakukan Demak dan Mataram.
Maka dari itu jika anda berkunjung ke Gunung Kidul, anda bisa menjumpai sisi eksotisme hingga misteri yang menyelingkupi wilayah yang ribuan tahun silam merupakan dasar lautan.
